Korupsi masih menjadi masalah serius yang membayangi tata kelola pemerintahan di Provinsi Riau. Wilayah yang kaya akan hasil bumi seperti minyak, gas, dan kelapa sawit ini ternyata menyimpan kerentanan tinggi terhadap praktik penyalahgunaan kekuasaan. Sumber daya yang besar tidak selalu berbanding lurus dengan kemakmuran masyarakat, justru kerap menjadi sumber konflik kepentingan dan korupsi.
Beberapa kasus besar telah mencoreng citra pemerintahan daerah. Dua mantan Gubernur Riau—Rusli Zainal dan Annas Maamun—terjerat kasus korupsi dalam pengesahan anggaran dan perizinan lahan kehutanan. Di tingkat kabupaten, sejumlah bupati seperti Bupati Kuantan Singingi dan Bupati Indragiri Hulu juga pernah ditangkap KPK atas kasus suap proyek dan gratifikasi.
Menurut data ICW (Indonesia Corruption Watch), Riau termasuk dalam lima besar provinsi dengan jumlah kepala daerah terbanyak yang terjerat korupsi antara 2004–2023. Sektor paling rawan adalah proyek infrastruktur, pengelolaan hutan, dan pengadaan barang dan jasa.
Pemerintah Provinsi Riau sebenarnya telah melakukan sejumlah langkah preventif, seperti penerapan e-procurement, penguatan inspektorat daerah, serta keterbukaan anggaran melalui situs resmi. Namun, lemahnya pengawasan internal dan budaya birokrasi yang permisif terhadap pelanggaran membuat banyak program antikorupsi belum berjalan optimal.
Peran masyarakat sipil dan media lokal sangat dibutuhkan untuk membangun budaya anti-korupsi. Lembaga seperti Ombudsman, LSM antikorupsi, dan komunitas jurnalis investigatif telah mulai mendorong keterbukaan informasi dan pelaporan publik berbasis warga.
Pemberantasan korupsi di Riau bukan hanya tugas hukum, tetapi bagian dari perbaikan sistemik dalam tata kelola. Butuh kemauan politik dari pemimpin daerah dan dorongan publik agar integritas menjadi nilai utama dalam birokrasi.